Rabu, 02 April 2008

Apa itu Neuro-Linguistic ProgrammingTM?

Oleh: Hingdranata Nikolay, MNLP, CHt

Seorang klien datang kepada saya untuk dibantu ‘melupakan si ‘dia”. Katanya sudah lebih dari 6 bulan sejak dia dan pasangannya putus. Dia ingin secepat mungkin bisa melupakan mantan pacarnya tersebut, tapi setelah 6 bulan berlalu dia masih saja tidak bisa melupakannya.

Pada sesi pertama saya mengenalkan kepadanya konsep NLP dan Hypnotherapy. Setelah menggunakan teknik Parts Integration untuk menggali bagian bawah sadarnya yang mempertahankan image mantannya, saya pun menawarkan sebuah teknik sederhana kepadanya, dengan penggantian ‘bahasa’ yang dipakainya. Karena saya bisa saja tergoda untuk mencari jalan lebih cepat dengan Time Line atau teknik Phobia Cure untuk menghapus beberapa bagian memorynya. Saya minta dia untuk ‘menerima’ keberadaan mantannya tersebut di pikirannya dan mengakui bahwa sekarang ini dia hanyalah teman seperti temannya yang lain. Jadi kalau selama ini kata-kata dalam pikirannya adalah ‘melupakan dia’, sekarang diganti ‘dia hanyalah teman biasa’. Pada reaksi pertama dia merasa bahwa itu sebuah solusi yang tidak akan membantunya.  Setelah saya yakinkan dengan beberapa ’success story’, dia pun mau melakukannya.Â

Seminggu kemudian, dia menelepon saya untuk mengatakan bahwa dia ’sudah menerima’ keadaannya dan image mantannya sudah tidak menjadi momok bagi dia lagi, dan saat dia bertanya apakah dia perlu sesi kedua, saya hanya berkata bahwa saat dia sudah bisa menerima bentuk hubungan baru dengan mantannya, niat awalnya yang saya gali dari proses hypnosis, yakni untuk meneruskan hidupnya setelah hubungannya terputus, sudah tercapai. Jadi sesi kedua tidak perlu. Dia sudah berhasil.

NLP, yang diinisiasikan oleh Richard Bandler dan John Grinder di pertengahan dekade 1970-an di Amerika, dan dikembangkan lebih lanjut oleh figur seperti Robert Dilts, Steve Andreas, Joseph O Connor, dan lain-lain, saat ini mulai mendapat perhatian di negeri tercinta kita ini. Dibawa awalnya oleh figur seperti Wiwoho atau Agus Sunaryo, dan praktisi lainnya, NLP sekarang menjadi salah satu tools yang sering dipergunakan dalam hubungan dengan pengembangan SDM dan pribadi.

Kendati sudah banyak orang coba untuk memahami NLP dengan mengikuti berbagai program NLP yang ada, tidak sedikit yang malah kebingungan. Hal ini disebabkan karena yang dipelajari adalah beberapa aplikasi NLP yang tidak mengenalkan mereka pada dasar-dasar konsep NLP, yang membangun aplikasi tersebut. Tidak sedikit yang berpikir NLP itu hanyalah sebuah tools terapi. Atau ada juga yang berpikir NLP sebuah tools training.

Cerita Sederhana Mengenai Pengertian NLP

Dalam buku ‘NLP Workbook’, Joseph O Connor menggambarkan pemahaman NLP paling sederhana dengan sebuah cerita mengenai seorang anak yang bertanya kepada ibunya mengenai NLP. Cerita ini saya ‘modifikasi’ dengan versi Indonesia agar Anda lebih mudah memahaminya. Anak ini bertanya kepada Ibunya “Mama, NLP itu apa sih?” Mamanya berpikir sejenak lalu berkata, “Kamu lihat kakek kamu lagi duduk di kursi goyangnya? Dia lagi sakit sekujur tubuhnya. Coba tanyakan bagaimana sakitnya” Anak ini pun segera berlari ke kakek dan menanyakan yang seperti yang diarahkan ibunya. Dengan wajah penuh kesakitan, kakeknya menjelaskan, “Waduh, semua otot kakek sakit. Dari kaki sampai atas. Semuanya sakit!” Anak ini segera berlari kembali ke mamanya dan melaporkan kondisi menyedihkan kakeknya, lalu menagih janji penjelasan mengenai NLP. Mamanya tersenyum kemudian berkata, “Kakek kamu itu seorang pejuang perang yang tangguh. Pasukannya dulu pernah mengalahkan sebuah pasukan Belanda dalam sebuah pertempuran. Sekarang, coba kamu ke sana dan tanyakan ceritanya!” Anak itu berlari ke kakeknya dan menanyakan mengenai pengalaman kakeknya tersebut. Sekonyong-konyong air muka kakeknya berubah, dan dengan bersemangat dia menjelaskan “Oh, itu luar biasa, cucuku. Mari kakek ceritakan, waktu itu …….dst…” Kakeknya menceritakan dengan sangat antusias. Anak ini kembali ke mamanya untuk menceritakan kondisi fisiologi kakeknya yang berubah total! Mamanya lalu berkata, “Nah, anakku, itulah NLP. Dengan kata-kata atau pertanyaan yang tepat, kamu telah menolong kakek kamu melihat dan merasa lebih baik”

Itu sebuah penuturan dan gambaran NLP yang paling sederhana, tapi juga sangat efektif. Faktor ‘Linguistic’ dalam NLP memainkan peranan yang luar biasa penting. Dengan pikiran kita dipenuhi kata-kata dan gambar, yang kita serap, olah, lalu lepaskan, NLP menawarkan berbagai aplikasi untuk membantu efektifitas dari setiap proses tersebut. Kita lebih efektif dalam menerima input dari luar, lebih luas dalam mengartikannya, lalu lebih efektif dalam menterjemahkannya ke dalam komunikasi dan interaksi dengan diri sendiri dan orang lain. Jadi bisa dipakai dalam berbagai konteks, entah komunikasi sehari-hari, training, terapi, kepercayaan diri, dan lain-lain. Meletakkannya dalam perspektif lain, kita bisa lebih efektif dengan berpikiran lebih luas, memilih kata-kata dan gambar-gambar di pikiran kita yang lebih membantu kita untuk mencapai tujuan.Â

Bukan Benar atau Salah, Tapi yang Berguna

Salah satu hal yang membuat saya melepaskan berbagai tools lain dan lebih memilih NLP adalah bahwa di NLP tidak dipertetangkan mengenai kebenaran dan kesalahan. NLP tidak fokus pada bingkai masalah, tapi pada bingkai solusi. NLP fokus bukan pada kebenaran sebuah konsep, teori, atau belief, tapi pada kegunaannya. Hanya dengan prinsip sederhana ini, hidup saya jauh lebih efektif. Saya lebih memikirkan bagaimana sesuatu itu berguna untuk membantu saya mencapai tujuan hidup saya, bukan menghabiskan waktu mempertanyakan kebenarannya. Saya tidak lagi menghabiskan waktu banyak untuk meributkan hal-hal dengan orang lain, dan fokus pada solusi setiap masalah, yangmana fokus pada kegunaan dari berbagai hal yang muncul dalam komunikasi.Â

Ada yang pernah bertanya kepada saya, bahwa kalau kita hanya fokus pada kegunaan, kita akan takabur karena dalam mencapai tujuan kita tidak lagi peduli pada kebenaran? Waktu itu saya menjawabnya juga dengan sederhana, bahwa apabila kita ingin mencapai sebuah tujuan, di NLP dikenal juga unsur ekologi. Guru saya, Steve Boyley dari Kanada, menggambarkan ini dengan sebuah konsep yang saya sukai, yakni WIN, WIN, WIN. Yakni dalam pencapaian tujuan, fokuskan tidak hanya kemenangan kita dan kemenangan orang yang terpengaruh secara langsung, tapi juga kemenangan banyak orang lain yang tidak terlibat langsung.

Outcome, Bukan Masalah

NLP sangat menekankan pada outcome atau hasil yang ingin dicapai. Ini yang menurut Bandler membedakan NLP dengan psikologi terapan konvensional. NLP tidak menghabiskan waktu untuk menggali masalah, latar belakang, penyebab, kenapa, dan lain-lain. Kalau harus melihat ke belakang untuk menyelesaikan masalah, NLP hanya tertarik melihat ‘bagaimana’ masalah ini terjadi, yangmana fokus pada struktur masalahnya untuk bisa diintervensi.

Pada saat kita ingin fokus pada outcome, kita fokus pada semua sumber daya yang mungkin untuk membantu kita untuk menuju outcome. Dan pada akhirnya, dalam menuju outcome, NLP juga menganjurkan tingginya fleksibilitas kita, dan memperluas pilihan-pilihan kita.

Peta Perilaku

NLP percaya bahwa kita semua mempunyai PETA atau MODEL DUNIA yang berbeda. Tidak ada yang sama persis. Peta Pikiran atau Model Dunia ini tidak sama dengan REALITA. Karena itu di NLP dipercayai bahwa kita tidak bertindak dan berpikir berdasarkan realita, tetapi hanya berdasarkan pada persepsi kita pada realita.

Peta atau Model Dunia kita tergantung dari berbagai hal seperti proses filter di pikiran kita. Dimulai dari deletion, distortion, dan generalization, dimana informasi diseleksi sesuai fokus kita, diartikan, dan digeneralisasi. Setelah itu di-filter lagi berdasarkan values kita, beliefs kita, memori kita, strategi kita, dan Meta Program (preferensi perilaku kita - yang oleh banyak orang dipersepsikan sebagai konsep kepribadian). Proses ini yang kemudian menghasilkan Peta Pikiran atau Model Dunia kita secara unik.

Dari proses di atas, semua orang berhak merasa dirinya benar menurut Peta Pikirannya. Hal ini dimungkinkan karena semua orang hidup dalam Model Dunia masing-masing.

Presuposisi

Di NLP dikenal apa yang disebut sebagai Presupposition. Pengertian sederhana mengenai ini adalah prinsip atau belief. Ini menyangkut kerangka berpikir dan berperilaku. Sesuatu yang kita pergunakan sebagai dasar dari pikiran dan tindakan.

Dari tahun ke tahun, banyak presuposisi yang dikembangkan. Yang paling terkenal di NLP misalnya, ‘The Map is not the territory’ yang berarti bahwa yang kita lihat, dengar, dan rasakan, tidak mewakili keadaan atau realita. ‘There is no failure, only feedback’ misalnya, menekankan pada fleksibilitas sikap untuk menerima apa yang biasanya dianggap sebagai kegagalan, hanya sebagai masukan agar kita mengganti pendekatan kita di kemudian hari.

Tools NLP

NLP mempunyai berbagai tools yang berguna. Semuanya bertujuan untuk membantu efektifitas kita. Eye accessing cue, misalnya adalah tool untuk membantu kita mengakses informasi di pikiran secara lebih cepat, dan juga alat bantu mengenali pola pikir partner bicara.

Selama bertahun-tahun, berbagai tools NLP telah dikembangkan. Ada ‘Parts Integration’, ‘Fast Phobia Cure’, ‘Anchor’, ‘Perceptual Position’, dan lain-lain. Semuanya bertujuan membantu efektifitas pikiran dan perilaku kita.

NLP dan Hypnotherapy

Pada saat NLP diciptakan, Bandler dan Grinder banyak memodel tiga orang tokoh di bidang ‘perubahan pikiran’ melalui hypnosis, yakni Milton Erickson, Virginia Satir dan Fritz Perls. Warna linguistik hypnosis dalam NLP memang kental di beberapa tools NLP, karena pengaruh ini. Milton Model, misalnya, yang menyediakan pilihan penggunaan pola linguistik yang dipakai oleh Erickson.

Walau awalnya diciptakan dengan memodel hypnosis, kini hypnosis justru jauh lebih efektif apabila dilengkapi dengan tools NLP. Keduanya sekarang menjadi kesatuan yang harmonis.

NLP dan Berbagai Perkembangan NLP

Setelah ‘bercerai’ dari kemitraan, Bandler dan Grinder mengembangkan NLP dengan peta masing-masing. Berbagai pakar NLP juga kemudian mengembangkan NLP dan menyediakan pilihan-pilihan lebih luas.

Bandler, misalnya, muncul dengan Design Human Engineer (DHE), Grinder dengan New Code, Michael Hall dengan Neuro-Semantics, lalu ada juga yang mengembangkan lebih jauh sampai mengkombinasikannya dengan Time Line Therapy (Tad James), dan lain-lain. Pada saat ditanya mengenai perbedaan yang signifikan antara semuanya, saya mengaku tidak bisa menjawab dengan sempurna, karena peta saya fokus pada NLP Classic yang saya dalami. Dan saya juga mengatakan bahwa bagi saya tidak penting untuk melihat yang mana yang paling benar, tapi yangmana yang saya anggap berguna untuk saya untuk mencapai tujuan saya.

Inspirasi Indonesia dan NLP

Saya secara khusus ingin membantu bangsa kita terinspirasi melalui Inspirasi Indonesia. Dan warna NLP memang kental dalam berbagai interaksi saya dengan anggota komunitas I2. Apalagi saya memilih NLP sebagai core values I2.

Saya memilih NLP sebagai katalisator berbagai konsep pengembangan diri lainnya, karena NLP bertujuan menyediakan pilihan sebanyak mungkin dan tidak hanya fokus pada yang mana yang paling benar.

2 komentar:

Syukur Raihan mengatakan...

Hai ririn boleh kenal nggak...? aku pernah dadi wong kudus lhoh...

KeSEMaT mengatakan...

Salam kenal. Salam MANGROVER!